oleh : Philip Anggo K
Begitulah
hal yang ada di benak saya ketika
melihat kembali pada kenyataan pendidikan formal desa saya. Benar jika saya
mengatakan bahwa desa saya adalah desa yang kecil. Secara geografis dapat
dilihat dalam peta atau google map letak dari desa saya. Jika melihat map dari
provinsi DIY maka coba sedikit melirik ke pojok kanan bawah dari map, disitu
akan ada sebuah kabupaten yang tidak asing lagi namanya, kabupaten Gunungkidul.
Setelah itu mari coba melirik lagi ke pojok kanan bawah sekali lagi, disitu
akan terdapat suatu kecamatan bernama Rongkop. Di kecamatan tersebutlah saya
tinggal dan memulai awal pendidikan saya mulai dari SD, SMP, sampai SMA. Namun
marilah menengok sekali lagi map kita dan kita masukkan sebuah kata dalam
pencarian map dengan kata “Botodayaan”, maka kita akan menemukan suatu daerah
yang ketika dilihat dari mata map sebagai tempat yang dipenuhi bukit di setiap
sudut map.
Di
desa Botodayaan ini saya bertumbuh besar dan mendapatkan pendidikan awal saya
di tingkat sekolah dasar, tepatnya di dusun Kenteng. Lingkungan yang sangat
ramah terhadap desa kami membuat kami terbiasa hidup nyaman dengan bergantung
pada alam sekitar kami. Desa kami dalam pemandangan saya merupakan desa ladang
dan bukit, mengapa? Karena di setiap mata memandang, maka yang akan ditemui
mata adalah gunung atau bukit dengan beberapa gubuk di lerengnya dan juga
ladang baik di lereng maupun lembahnya, dan hanya beberapa rumah warga yang
terlihat menyelingi tinggi dan luasnya bukit dan ladang. Dari situ sumber dari
penghasilan penduduk kami, walaupun ladang kami merupakan ladang tadah hujan
namun kami juga masih merasakan kesejahteraan dari sana.
Sekilas
akan terlihat makmur, namun seiring bertambahnya usia saya merasa ada hal yang
seharusnya ada namun tidak ada. Hal tersebut adalah kesadaran akan pentingnya
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan sistem perempuan menikah muda
yang dianggap umum di desa saya, bahkan kadang perjodohan pun masih terlihat di
sana-sini. Bukan tanpa alasan saya menulis hal di atas, namun di desa saya
banyak kaum hawa yang masih sangat muda pada umurnya, dan yang seharusnya masih
mendapatkan pendidikan yang layak, baik pendidikan umum maupun karakter yang
berguna untuk masa depannya, namun setelah lulus dari SMA, SMP, bahkan SD
langsung dinikahkan dengan seseorang yang dianggap mampu menanggung hidup sang
wanita, dimana kaum yang dinikahkan selama yang saya lihat dan ketahui adalah
kaum yang rata-rata berusia dua kali lipat lebih tua dari umur sang wanita.
Satu
lagi masalah dalam pikiran saya ketika melihat sekeliling saya dan yang ingin
saya ceritakan disini, yaitu tentang pemuda-pemuda desa kami yang setelah
menempuh pendidikan tingkat dasar langsung terjun ke dunia kerja. Saya tidak
tahu mengapa demikian, apakah ini sudah tradisi atau apa. Namun akhir-akhir ini
saya menyadari hal itu disebabkan karena desakan dan tuntutan dari orang tua
dan terutama dari lingkungan yang mendesak agar segera menghasilkan uang.
Mengapa harus segera menghasilkan uang, karena jika tidak menghasilkan uang dan
tidak memiliki sepeda motor maka tidak akan ada wanita ataupun orang tua yang
mau menikah ataupun menikahkan anaknya pada orang itu. Selain hal itu, jawaban
utama ketika ditanya mengapa tidak melanjutkan ke perguruan tinggi adalah
karena faktor biaya yang dianggap sangat besar dan tidak mungkin untuk
menyanggupi melanjutkan studi.
Dilihat
sekilas hal ini masih sangat umum bagi mereka yang melihatnya dari segi pandang
materi. Namun ketika semakin lama saya melihat kehidupan mereka dengan segera
mereka mengalami banyak masalah yang rata-rata adalah karena
kekurangpengetahuan akan bagaimana memanajemen ekonomi yang baik, mengatur
kehidupan sosial, bahkan mengatur pendidikan anaknya mereka mengalami
kesulitan. Mengapa demikian? saya akhirnya tahu bagaimana mereka baik wanita
maupun pemuda yang terjun ke dunia kerja juga merasa tertekan dengan adanya
tuntutan dari sekelilingnya terutama desakan dari orang tua akan wanita yang
harus segera menikah agar dengan segera banyak cucunya, karena dengan banyak
cucu maka kehidupan ekonomi akan semakin membaik karena akan semakin banyak
yang mencari uang, atau dinikahkan dengan orang yang memiliki banyak ladang dan
yang lain yang dianggap kaya. Sedangkan para pemuda yang dituntut untuk segera
memiliki uang untuk membeli sepeda motor agar dapat menarik perhatian dari
wanita, sehingga secepatnya juga dapat menikah dan membangun kehidupan rumah
tangga.
Itu
hanya sedikit alasan yang saya ketahui mengapa hal ini terjadi. Dan dari sini
saya simpulkan bahwa hal yang seperti itu sebenarnya dikarenakan kurangnya
pendidikan formal dan karakter baik pada anak maupun orang tua. Karena seorang
anak yang berpendidikan akan segera menolak jika dituntut untuk segera menikah
atau bekerja pada usia dini, karena mereka pasti juga akan berpikir tentang
masa depan yang semuanya memerlukan pendidikan yang tidak hanya dapat diperoleh
di pendidikan tingkat dasar saja. Sedangkan orang tua yang melek pendidikan
juga tidak akan menuntut anaknya untuk menikah muda atau bekerja pada usia
dini, karena dengan begitu mereka tahu bahwa dengan menjodohkan atau menuntut
anaknya segera bekerja pada usia muda akan merenggut hak mereka untuk
mendapatkan pendidikan yang sebenarnya dapat memberikan masa depan yang cerah
bagi anak-anaknya.
Dari
hal diatas dapat disimpulkan satu poin penting tentang apa sebenarnya yang
harus segera diperbaiki dari sistem yang ada di desa saya, yaitu pengetahuan
akan pentingnya pendidikan bagi anak dan juga pada orang tua. Mengapa harus
dua-duanya(anak dan orang tua)? Bukankah pendidikan itu hanya untuk anak saja?
Jawabannya adalah memang pendidikan itu akan didapat sang anak saja, namun
pengetahuan akan pentingnya pendidikan itu harus dimiliki oleh dua pihak tersebut.
Dua-duanya merupakan sinergi yang tidak dapat dipisahkan untuk memberikan
kehidupan yang cerah bagi kedua belah pihak. Sang anak harus memiliki suatu metivasi
tersendiri tentang kehidupan masa depan mereka yang sangat bergantung pada
pendidikan yang mereka dapat, tidak sekedar lulus sekolah menengah lalu kerja,
karena pasti akan berdampak kepada kehidupan yang kurang cerah. Namun di sisi
lain sang anak juga harus mendapatkan dukungan dari orang tua dalam hal
pendidikan tersebut, baik dukungan moral maupun material agar sang anak lancar
dan termotivasi selama menempuh pendidikan untuk hidup yag lebih cerah.
Pernah
ada dalam pemikiran saya untuk membentuk suatu forum yang memberikan
sosialisasi pentingnya pendidikan formal baik bagi orang tua maupun bagi sang
anak, namun sampai saat ini belum terlaksana. Di samping itu saya juga memiliki
sebuah gagasan untuk berbicara kepada bapak kepala desa saya tentang pendapat
saya yang demikian agar dibentuk suatu program kerja tentang penyuluhan secara
rutin yang memberikan pengetahuan akan pentingnya pendidikan formal bagi
kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Dengan diadakannya penyuluhan atau
sosialisasi dengan pembicara yang dapat merubah cara pandang masyarakat yang
demikian menjadi masyarakat yang memiliki pengetahuan akan pentingnya
pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi, atau paling tidak mengubah
cara pandang menikah usia muda atau bekerja pada usia muda itu sangat tidak
baik mengingat pada masa itu merupakan masa dimana sesorang masih mendapatkan
pelayanan baik dari keluarga maupun masyarakat.
Selain
hal diatas saya sendiri sebagai seorang mahasiswa juga mencoba menceritakan
keadaan desa saya di berbagai forum yang dengan hal tersebut saya berharap
forum akan memberikan perhatian akan keadaan desa tersebut, dan belum berapa
lama akhirnya saya dapat menarik minat dari teman-teman dari suatu forum dan teman-teman
menyetujui untuk sebisa mungkin datang ke tempat dimana saya dahulu mengenyam
pendidikan di bangku SMA. Tidak hanya selama saya studi di kampus saja saya
akan mencoba memberdayakan masyarakat di desa saya, namun walaupun masih
sekedar pemikiran tujuan utama saya adalah untuk merubah cara pandang
masyarakat yang menganggap pendidikan itu tidak penting menjadi sebuah pola
pikir yang mengedepankan pendidikan.
Mungkin
lewat event ini juga yang diadakan oleh Sospol in Action saya merefleksikan apa
yang selama ini mengganjal di hati saya, bukan demi tujuan apapun, tetapi agar
teman-teman dari kota metropolitan juga tahu keadaan dari pendidikan di desa
saya. Jika di Jakarta setiap muda menenteng tas untuk pergi kuliah, maka di
desa saya para muda banyak yang menenteng sabit, ataupun alat kerja lainnya
yang dibilang kasar. Di desa saya hanya sedikit saja yang melanjutkan studi ke
bangku sekolah menengah atas, kebanyakan dari mereka langsung bekerja atau
menikah ketika lulus sekolah menengah pertama. Sering pasti teman-teman
mendengar bahwa Jogja adalah “kota pelajar”, itu memang benar, tapi darimana
pelajar itu berasal? Kebanyakan adalah berasal dar kota, atau bahkan pulau
lain, sedangkan masih banyak tempat-tempat merupakan bagian dari Jogja tetapi
tidak melanjutkan ke studi yang lebih tinggi.
Disini
juga mungkin diperlukan penyuluhan yang tidak hanya dari mahasiswa atau dari
desa sendiri tetapi alangkah lebih baiknya jika penyuluhan akan pentingnya
pendidikan baik formal maupun nonformal merupakan suatu program kerja yang
memang harus dan rutin dilaksanakan oleh pemerintah, terutama penyuluhan kepada
orang tua dari anak-anak di desa-desa terpencil yang masih sangat kecil tingkat
pendidikannya seperti desa saya misalnya. Namun pasti tidak dapat secepat itu
saya atau usaha saya untuk mewujudkan keinginan saya tersebut, tetapi saya
percaya suatu saat nanti saya pasti akan diberikan kesempatan untuk benar-benar
dapat merubah keadaan desa saya terutama menuju pemikiran yang mau
mengedepankan pendidikan sebagai modal menuju masa depan yang lebih cerah.
Mungkin dengan melakukan suatu perkumpulan kecil atau apa, karena saya di desa
saya mungkin dikenal warga karena saya adalah orang yang melanjutkan ke bangku
perkuliahan. Walaupun di desa saya adalah orang paling miskin dengan rumah
berukurn 5x4 meter dengan dinding bambu lantai tanah, namun dengan pendidikan
yang saya tekuni saat ini saya akan mencoba menggunakan hal tersebut untuk
memberikan gambaran akan pentingnya pendidikan pada tingkat yang lebih lanjut.Karena
saya berpikir, apalah arti kita berpendidikan tinggi jika kita tidak dapat
menularkannya pada lingkungan sekitar, maka sebisa mungkin saya akan memberdayakan
masyarakat desa yang telah membesarkan saya.
“Cogito
Ergo Sum"
diambil dari: http://sospolinaction.blogspot.com/2012/10/kecilnya-arti-pendidikan-di-daerahku.html#.UUYHfMq85-4
Senin, 18 Maret 2013
Kamar kost 1.:16 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar