Berbeda dengan wayang gagrag Banyumas atau Sunda yang secara jelas dapat dibedakan dari gagrag lain karena kekhasan karakter dialek dan penokohan, wayang kulit gagrag Jogja dan Solo relatif sulit dibedakan dengan hanya membandingkan satu atau dua pementasan bagi mereka yang tidak sejak kecil belajar dunia pewayangan. Dilihat dari tata bahasa yang digunakan dapat diketahui bahwa kedua gagrag sama-sama memiliki tata bahasa yang sama: krama inggil, kedathon atau kawi. Begitu juga dengan dialek, penokohan, gendhing, suluk dan beberapa hal lain yang sangat mirip. Tetapi sesunggunya, terdapat beberapa perbedaan yang sudah umum diketahui bagi pecinta wayang, tetapi mungkin saja tidak bagi mereka yang hanya sekedar ingin tahu.
Pertama: penokohan wayang.
Dalam gagrag Jogja terdapat tokoh wayang yang tidak dimiliki atau lebih tepatnya tidak dimasukkan di dalam pewayangan gaya solo oleh para seniman Solo terdahulu, yaitu Raden Antasena. Raden Antasena (gagrag Jogja) adalah anak dari tokoh Raden Werkudara (Bima) dengan Dewi Urang Ayu. Raden Werkudara sendiri adalah bagian dari Pandawa (anak nomor dua dari Prabu Pandu Dewanata dengan Kunthi Talibrata). Gagrag Jogja menyebutkan bahwa Werkudara mempunyai tiga istri, yaitu Nagagini sebagai istri pertama, kemudian secara berturut-turut Arimbi dan Dewi Urang Ayu sebagai istri kedua dan ketiga. Baik gagrag Jogja dan Solo sama-sama menyebutkan bahwa Nagagini berputra Raden Antareja dan Arimbi berputra Raden Gatotkaca, tetapi Dewi Urang Ayu yang berputra Raden Antasena hanya ada di pewayangan Jogja. Sedangkan, di pewayangan Solo, Antasena adalah nama lain dari Raden Antareja, dengan kata lain dalam pewayangan Solo Raden Werkudara hanya berputra dua, sedangkan pewayangan Jogja berputra tiga.
Perbedaan sebagaimana yang disebutkan di atas memberikan dampak yang signifikan terhadap alur cerita, terutama tentang pertemanan Raden Wisanggeni (putra Raden Janaka dengan Dewi Dersanala) dan Raden Antasena yang kemudian sama-sama menjadi tumbal untuk kemenangan Pandawa dalam perang Bharatayudha. Baik Raden Wisanggeni dan Raden Antasena sirna dari alam setelah diyakinkan oleh Sang Hyang Wenang meyakinkan bahwa jika mereka mau lebur dunianya, maka orang tua mereka (Pandawa) akan mendapatkan kemenangan dalam perang saudara dengan pihak Kurawa tersebut. Tidak hanya itu, keberadaan tokoh Raden Antasena berpengaruh besar pada cerita Carangan, yaitu cerita atau lakon yang dikarang oleh dhalang sendiri. Sebagai contoh adalah lakon Antasena dadi Ratu, Antasena Ngraman (Antasena ndugal), dimana Raden Antasena menjadi tokoh utama dan menjadi media geculan (guyonan) oleh dhalang. Sedangkan di Solo saya sendiri tidak begitu tahu keberadaan lakon tersebut, di Jogja sendiri bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa hampir semua orang tua tahu kedua lakon tersebut.
Kedua: dodot (pakaian), jejamang dan wajah
Sekilas kedua gagrag memiliki wajah yang sama, tetapi jika diperhatikan dengan seksama akan ditemukan beberapa perbedaan. Sebagai contoh adalah tokoh Raden Abimanyu (putra Raden Janaka). Pewayangan Solo menggambarkan Abimanyu sebagai ksatria yang halus, kepala merunduk ke bawah dengan rambut berurai dan wajah yang tegas (bagian hidung lurus, lebih runcing dan ramping), begitu juga di Jogja, hanya saja pewayangan Jogja menggambarkan wajah Raden Abimanyu sedikit agak melengkung, dan tidak terlalu runcing. Ada istilah "gemblengan" untuk menggambarkan wajah Raden Abimanyu, tetapi saya sendiri juga tidak terlalu mengerti, jadi belum saya bahas disini. Di sisi lain, sumping (jejaman di telinga) dan songkok sama, dimana songkoknya sama-sama mulut garuda mungkur.
Dari segi dodot (pakaian) yang dikenakan, gagrag Solo memberikan gambaran yang lebih jelas dan tegas dibandingkan gagrag Jogja. Pewayangan Solo dodot yang digunakan sama seperti dodot ksatria besar seperti raden Gatotkaca atau Setyaki dengan jarak antar kedua kaki melebar. Sedangkan pewayangan Jogja menggambarkan Raden Abimanyu berkaki rapat dan mempunyai keris di bagian belakang dodot, sehingga lebih terkesan bambangan.
Ketiga: geculan
Geculan atau guyonan antar dhalang sudah pasti beda, geculan dhalang biasanya dilatarbelakangi oleh asal dhalang itu sendiri. Semisal Ki Hadi Sugito cenderung menggunakan bahasa geculan atau jenis geculan yng umum di Kulon Progo, karena alm berasal dari Kulon Progo. Begitu juga dengan Ki Timbul, akan memberikan model geculan yang berbeda. Dari sini dapat disimpulkan, dalam satu gagrag saja (Jogja) akan ditemui model geculan yang luar biasa variatif, apalagi antar gagrag. Dhalang gagrag Solo yang sering saya dengarkan adalah Ki Nartosabdo dan Ki Manteb. Kenapa? Mungkin karena saya merasa di antara dhalang gagrag Solo yang lain, dua dhalang tersebut lebih sering memasukkan geculan dalam dialog yang boleh dikatakan sering. karena sebagaimana kita ketahui bahwa gagrag Solo sangat menekankan pada sabetan (penggerakan wayang) dhalang, dimana semakin bagus sabetannya, semakin terkenal dhalang tersebut. Ki Manteb adalah dhalang yang memiliki sabetan luar biasa tetapi juga tidak meninggalkan dialog yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk menggiring penonton atau pendengar ke alur cerita.
Keempat: porsi dialog
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya bahwa gagrag Solo cenderung menekankan sabetan, dimana adegan perang akan sangat ditunggu oleh penonton ketika dhalang berlatarbelakang gagrag Solo. Penekanan pada sabetan membuat porsi dialog pewayangan Solo lebih sedikit daripada Jogja. Sehingga jika ditonton, pengolahan gerakan wayang dhalang Solo cenderung lebih baik dari Jogja, sebaliknya jika didengarkan di radio, gagrag Jogja akan cenderung lebih mudah menggiring pendengar ke alur cerita.
"Cogito Ergo Sum"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar