Dulu terasa sakitnya hati ini ketika terluka, masa SMA yang tak pernah terlupa. Waktu itu saya kelas satu, dan hanya beberapa murid yang menjadi teman saya, tidak banyak. Telah saya dengar cerita dari guru saya tentang dua kakak angkatan saya yang mengejar mimpi ke kampus biru, dan tahukah teman, saat itu hati saya benar-benar penuh dengan motivasi, dan karena itu, saya tidak tahu apakah mereka membenci saya. Kala itu hanya bertanya, apa salah saya teman?
Sebelum ke kampus biru, saya harus menaklukan tantangan masuk kelas IPA dan mungkin TUHAN menghendakinya, jadilah saya kelas XI IPA dengan 18 orang muridnya. Saat itu entah mengapa IPA itu populer, dan akupun mungkin dikenal.
Aku
senang mereka ternyata kawan yang periang dan banyak bercanda, itu mengobati setiap rasa perih dan sesak ketika harus menanggung sesuatu hal yang bagi saya terasa berat, dan itu tidak dialami orang lain. Tahukah teman, rasa itu sesak dan kadang membuat air mata tidak kuasa engkau bendung, dan hanya senyum getir yang dapat membohongi sekitarmu tentang apa yang terjadi padamu.
Kala itu, aku selalu menjadi bahan bulian dari setiap candaan mereka, tetapi tidak apa, saya senang karena ternyata saya diperhatikan, walau dalam bentuk bulian. Lagi-lagi saat melihat posisi mereka yang saya anggap jauh lebih tinggi state hidupnya membuat saya sesak lagi, hingga jadilah 3 tahun massa SMA dengan dada kembang kempis menahan segala pasrah. Tetapi saya sangat mencintai mereka semua, dan saya rasa mereka tahu seperti apa keadaan saya sebenarnya.
Melihat segala fasilitas mereka membuat saya sangat iri dan ingin juga memilikinya, misal saya juga ingin sms-an dengan teman dan tidak hanya terus mengayunkan gagang sapu sana-sini atau hanya menggerakkan tangan sana-sini untuk mencuci atau mengupas kulit kacang, atau membrondoli jagung dari intinya. Setiap sore saya di belakang rumah yang selalu kotor oleh daun dan berbagai hal, melihat mereka wira-wiri kesana-kemari dengan motor kesayangan mereka, mereka melihat bola, nongkrong, main, dan saya tidak tahu lagi sebebas apa mereka diluar sana, sedangkan saya, tugas rumah saya tidak boleh saya tinggalkan.
Ketika malam saya istirahatkan sejenak tubuh kecilku, ya saya tidak tumbuh besar seperti teman-teman saya yang lain, entah mengapa. Menjelang pagi sembari mencuri dengar siaran wayang kulit dengan dalang bergaya khas Ki Hadi Sugito dari radio simbah, saya memaksakan diri membuka mata pukul satu atau dua, mencuci muka dan mencoba membalik-balikkan buku pelajaran. Tahukah kawan, saat itu rasa kantuk sangat luar biasa besarnya, air mata yang keluar entah berapa banyaknya. Hanya dengan dua gelas air putih untuk modal membasahi tenggorokan, tanpa makanan, karena saya tidak berani mengambil makanan lain kecuali makanan yang diberikan kepada saya oleh simbah saya. Akhirnya, jadilah pagi hari dengan mata merah menahan pedas dan perut yang ya Tuhan kadang saya harus menahan kerasnya remasan dari lambung ini. Yang saya rasakan saat itu hanyalah perut yang semakin pagi semakin hangat dan panas, ya teman-teman tahu kenapa menjadi hangat dan panas.
Pukul 4:00 adalah waktu saya untuk bangun pertama kali dan membersihkan rumah simbah, mencuci piring atau perkakas kotor bekas bekas hari kemarin, merapikan kamar, dan menyapu halaman rumah berkeliling. Dingin dan lapar saya sembari menyapu membayangkan nasi goreng yang akan saya makan jam setengah 6 nanti. Bukan nasi goreng yang mewah, bukan, hanya nasi goreng biasa, tanpa telor ataupun kecap, dan itu setiap pagi, dan Puji Tuhan rasa lapar itu hilang dengan perantara keluarga simbah saya yang baik.
Sebelum sarapan, mandi adalah kewajiban utama bagi saya sebagai siswa. Setelah mandi tangan mulai merogoh-rogoh saku baju atau celana dan berharap ada beberapa ribu atau ratus uang untuk membeli soto jika cukup, atau jika tidak cukup, gorengan juga tidak masalah. Dan kadang, saya harus pergi ke sekolah tanpa membawa sepeser uang, karena uang sering telat walaupun hanya bernilai 20 ribu untuk jatah seminggu, tetapi kenyataannya itu bukan nominal yang mudah untuk dicari oleh ibu saya ketika ayah pergi ke kota. Kedua adik saya yang juga mengenyam bangku SMP dan SD juga harus dilengkapi kebutuhannya oleh ibu saya yang tidak mempunyai ladang ataupun usaha lain kecuali menjahit kecil-kecilan, sedangkan pekerjaan utamanya adalah buruh tani di ladang-ladang tetangga yang luas dan bertanah keras. Kadang saya kasihan melihat ibu saya yang ketika berangkat berkulit kuning langsat dan bersih harus pulang dengan kulit berwarna merah dan cokelat penuh debu, bahkan kadang beberapa jarinya harus dibungkus kain karena terluka saat bekerja. Terimakasih ibu, ini semua berkat dirimu. Ketika beliau sampai di rumah, beliau tidak langsung istirahat, tetapi langsung memberi makan kambing milik tetangga, mencuci, menjahit dan lain sebagainya, kadang untuk beberapa menit kami bercanda dan saya memijit ibu yang kulit beliau sangat hangat, menandakan walaupun sedang istirahat metabolisme masih bekerja dengan sangat di dalam setiap unit selnya. Entah beliau tidur pukul berapa dan bangun pukul berapa, karena ketika saya dirumah dan kebiasaan bangun pukul dua membangunkan saya, saya melihat ibu telah membunyikan mesin jahitnya, bukan dengan dinamo, alasan listrik mahal membuat ibu saya mengurungkan niat menjahit menggunakan dinamo. Pernah suatu ketika jari ibu saya tertembus jarum jahit, dan beliau malah senyam-senyum, pernah juga beliau saat mencari makan untuk kambing jari telunjuk beliau tersabet sabit dan ujung jarinya terpotong, saat itu saya tidak ada di rumah, dan beliau berjalan ke balai dusun tetangga yang sedang mengadakan pengobatan gratis dengan berjalan kaki pada waktu siang hari, dan itu membuat saya menangis, tidak hanya keringat yang beliau korbankan untuk saya, tetapi darah pun mengalir ketika harus memberi makan kambing untuk selanjutnya dijual untuk keperluan kami. Ada satu hal yang harus teman-teman ketahui, anak kambing yang dibagi hasil dan menjadi bagian kamin tidaklah pernah menjadi kambing yang benar-benar dewasa, karena keburu butuh uang untuk keperluan kami. Ketika menitipkan uang bersama surat putih kecil dengan tulisan khas yang isinya tidak jauh dari kata-kata: "ngga mung iki mamak iso kirim, njaluk ngapura, sinau sek sregep", bahkan kadang selembar surat tanpa isi juga pernah: "mamak ora due duwit ngga, sesok dienteni yo".
Itu ibu saya, seberapa pun ibu saya memiliki pekerjaan yang secara kemapanan sangat jauh, tetapi saya bangga pada ibu saya, itulah alasan saya tidak pernah meminta apa-apa kepada ibu saya, makan saja susah.
Di SMA saya berusaha menangkap ilmu yang diberikan semaksimal mungkin agar bisa membanggakan ibu saya, masuk ke kampus biru. Walaupun dulu itu sangat terlihat abstrak, bahkan memimpikannya pun saya tidak bisa, tahu kampus biru seperti apa pun tidak. Ya sudah sekarang hanya belajar, itu yang ada di pikiran saya.
Sebagai anak-anak yang tumbuh dewasa saya juga mengalami masa dimana saya dihadapkan pada sesuatu yang sebetulnya saya hindari, ya soal suka pada wanita. Sebisa mungkin saya menghindari hal itu, tetapi ternyata semakin dihindari semakin besar rasa suka itu pada seorang wanita. Entah itu suka atau kagum saya tidak tahu, saya belum dewasa, dan yang saya tahu hanya saya suka melihat dia di dalam kelas. Saya berusaha keras untuk menghilangkan rasa itu, karena itu saya pikir hanya menambah beban hidup saya saja, dan ternyata itu malah menjadi salah satu motivasi untuk menunjukkan diri di hadapannya bahwa saya layak menjadi salah seorang pria yang mengaguminya. Entah apa dia tahu atau tidak, tetapi saya harap tidak, karena setelah disini kami pasti memiliki jalan sendiri-sendiri, dan satu hal yang membuat saya untuk tidak berterus terang, saya sadar siapa diri saya. Siapapun dia, saya berterimakasih karena dia termasuk satu dari sekian motivasi saya untuk mencapai cita-cita saya. Dia adalah wanita yang saat kelas XII bertempat duduk di barisan tengah urutan nomor 2 sebelah kiri. Well, saya doakan beliau menjadi seseorang yang dapat memberikan motivasi bagi orang lain selain saya, dan saya sangat berharap suatu saat nanti dia di antara berjuta laki-laki pemujanya mendapatkan seorang jatukrama yang benar-benar mencintai dan dengan tujuan hanya untuk membangun relasi dan keturunan yang selalu memberikan ruang untuk kebahagiaannya di dunia dan di akhirat nanti, biarlah kasih Tuhan selalu menyertaimu, aku selalu mendoakanmu.
Di SMA guru-guru yang saya miliki memiliki tekad yang luar biasa untuk memajukan pola pikir dan akademik siswa SMA. Perjuangan berat untuk dapat mencapai tujuan tersebut, bahkan ada beberapa guru yang berasal dari Sleman, Jogja, dan Piyungan, beliau-beliau adalah manusia yang lebih dari sekedar guru besar bagi saya, karena tidak ada emas atau berlian yang dapat membeli perjuangan beliau-beliau.
"Cogito Ergo Sum"