19/04/13

Diskusi KoJuSe Kenaikan Harga BBM

oleh: Philip Anggo Krisbiantoro
 
Bukan kata-kata analis yang dapat saya sampaikan, dan juga bukan suatu pandangan yang dapat memuaskan dahaga mereka yang benar-benar mengerti apa itu dunia politik. Tetapi biarlah saya menuliskan apa yang saya mengerti dan pahami dengan otak sekepal dua tangan saya ini.

KoJuSe (Komunitas Jum'at Sore), suatu komunitas mahasiswa yang membahas isu-isu nasional dengan diskusi di dalamnya dan membuat pikiran kita berputar spontan untuk memandang isu tersebut tidak hanya dari satu sisi. Kali pertama saya dengar KoJuSe adalah beberapa bulan yang lalu, tetapi kali pertama saya mengikuti secara langsung KoJuSe adalah sore 16:00, 18 April 2013 kemarin. Dan di hari itu pula berbagai pandangan, perspektif, dan argumen muncul. Kadang terasa janggal di telinga saya, tetapi kadang sepaham juga dengan pikiran saya.

Bercerita tentang BBM, sebagai mahasiswa Kimia saya tahu betapa urgentnya negara kita saat ini, bahkan dunia ini untuk memikirkan suatu solusi agar dapat keluar dari ketergantungan terhadap Sumber Daya Alam, terutama SDA yang tidak terbarukan, apalagi jika bukan minyak alam. Melihat banyaknya kendaraan yang ada saat ini, melihat dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politik, dan dinamika-dinamika kemanusiaan yang lain, secara sadar kita sebagai mahasiswa harus tahu, bahwa hal tersebut tidak ada yang lepas dari yang BBM.

Sekarang entah sudah seberapa lebar gua sedimentik yang kini terbentuk. Jika dibuat sebuah dunia gua dalam tanah bekas minyak bumi, maka tidak perlu lagi manusia mencari alternatif planet lain untuk menampung dunia manusia, karena bumi sudah menjadi rumah susun yang dapat ditempati atas dan bawah ketika minyak bumi mengering.

Kembali ke KoJuSe. Bagi saya, memang benar jika kita memandang sesuatu yang berhubungan langsung dengan yang namanya masyarakat, karena apa tujuan negara ini berpolitik, jika bukan untuk masyarakat? Tetapi fakta menunjukkan bahwa sesuatu yang seharusnya menjadi milik rakyat, sesuatu yang dapat digunakan untuk mensejahterakan rakyat, telah menjadi suatu senjata bunuh diri bagi masyarakat. Bagaimana tidak? Minyak bumi milik kita, tanah ini milik bersama, tetapi ladang minyak dikuasai oleh asing. Mungkin ini tulah, saya tidak tahu, tetapi andai tidak ada korupsi Pertamina, maka saya rasa sampai saat ini rasa kepercayaan pemerintah terhadap satu perusahaan dalam negeri untuk mengoperasionalkan seutuhnya dunia perminyakan dapat berlanjut sampai saat ini. Tetapi siapa tahu, ternyata senjata utama kita menjadi duri dalam sekalnya kulit bangsa ini, sehingga perih dirasakan ketika korupsi terjadi.

Hingga kesepahaman Indonesia-IMF terjadi, perusahaan asing akhirnya diperbolehkan manancapkan benderanya di ladang minyak Indonesia. Pemerintah mungkin berpikir tidak akan ada lagi yang namanya korupsi. Pembentukan BPMIGAS sebagai wasit membuat pemerintah yakin akan langkah yang diambil. Memang tidak ada korupsi, tetapi sebaliknya sektor hulu dikuasai oleh pihak asing, entah berapa angka yang dikeluarkan pemerintah untuk menutupi dana tersebut. Sekarang kita menikmati suatu keadaan dimana kita melihat anak tetangga menyusu pada ibu kita. Kita melihat bangsa lain memeras sampai kering ladang minyak kita, dan kita memaksakan diri menikmatinya.

Hingga ada kebijakan BBM akan dinaikkan, tidak perlu mengatakan setuju atau tidak setuju. Karena dibalik kedua kata itu banyak konsekuensi positif dan negatifnya. Jika kita berkata setuju, tinjau ulang kata-kata itu. Dimana adilnya Indonesia dalam berdemokrasi jika harga BBM dinaikkan hanya untuk kalangan tertentu, dan itu bagi saya, entah subjeknya kaya atau miskin tetap saja sebagai suatu diskriminasi status sosial. Selain itu ke arah lingkungan coba kita berpikir, jika kendaraan pribadi harga BBM-nya lebih tinggi maka akan semakin banyak pengguna kendaraan roda dua, sedangkan kita tahu betapa tidak efisiennya pembakaran pada mesin roda dua (motor). Bagaimana lingkungan kita nanti? Udara seperti apa yang kita wariskan kepada anak cucu kita, jika tidak ada lagi tempat untuk bernafas karena kita yang hari ini? 

Sedangkan jika kita berkata tidak setuju, tunggu dulu, lalu bagaimana dengan perekonomian negara? Pusing sudah kita sebagai mahasiswa mendiskusikan sesuatu yang sebenarnya saya yakin para petinggi pemerintahan pun juga sama pusingnya, hingga kadang membuat suatu wacana atau keputusan yang kurang realistis dan mengena jika dihubungkan dengan realita dan kebutuhan rakyat Indonesia.

Dinamika itu realita, dan itu ada, dan akan semakin meningkat sejalan meningkatnya kapasitas manusia dalam memberdayakan kemampuan SDM-nya. Hingga saya percaya, bahwa kita sebenarnya sudah tidak membutuhkan BBM, tidak perlu lagi pemerintah bersusah payah mencari upaya konversi energi dari satu bentuk ke bentuk lain yang jelas-jelas tetap saja menghasilkan polusi. Sehingga harusnya ke depan kita lebih memikirkan SDM orang-orang Indonesia agar dapat menciptakan suatu produk anak negeri yang dapat memberikan solusi dalam permasalahan peningkatan dinamika yang tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan dan kehidupan generasi masa depan.

"Cogito Ergo Sum"
Kamar Kost 
18 April 2013, 11:22 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar