09/04/14

Pulau Rote Part VI

OESELE
Kamis, 23 Januari 2014
Dari Kantor Kecamatan Rote Barat Daya kami melanjutkan perjalanan kami ke Oesele. Masih dengan formasi yang sebelumnya, yaitu Mahe berboncengan dengan Syalwa, Ade dengan Bapa David dan saya sendiri dengan Bapa Yusuf Bapinsa Barat Daya.

Selama perjalanan Bapa Yusuf bercerita tentang keadaan Rote Barat Daya, terutama suku Ti’I dan Dengka yang sering berselisih paham. Bapak Yusuf bercerita bahwa masyarakat dimana beliau mengabdi sebagai Bapinsa rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah, terutama mereka yang saat ini sudah tua. Tingkat pendidikan yang rendah menurut beliau adalah faktor utama yang membuat rendahnya toleransi kebersamaan antar suku. Rendahnya pendidikan menjadikan banyak individu mudah terpancing dalam hal emosi, bahkan untuk hal-hal yang dianggap kecil dan sepele. Beliau juga bercerita tentang banyaknya kasus pembunuhan yang terjadi di daerah dimana beliau mengabdi sebagai Bapinsa. Terakhir kali pembunuhan yang beliau tangani adalah saling bunuh antara dua petani yang terjadi digubuk sawah. Saling bunuh ini terjadi antara dua orang petani. Yang saya tangkap ceritanya adalah seperti ini: 

Ada seorang petani yang memelihara dua ekor babi, dan kedua babi tersebut masik ke ladang petani lain dan merusak tanaman yang ada di ladang tersebut. Petani yang memiliki ladang kemudian marah dan membunuh kedua ekor babi tersebut. Petani yang memiliki babi tersebut kemudian mendatangi sang petani yang membunuh babi tersebut dengan tenang tanpa memperlihatkan tanda-tanda buruk. Setelah sampai di gubuk dimana sang petani yang membunuh babi berada, pemilik babi kemudian memarang kepala dari sang pemilik babi dan menyabet sekali lagi di bagian punggung (kalau tidak salah). Sang petani yang diparang kemudian menghunus parangnya dan menusuk perut dan pemilik babi. Kemudian datang Ipar dan saudara (kalau tidak salah) dari petani yang membunuh kedua babi dan membantu petani yang membunuh babi dan memarang pemilik babi hingga putus bagian kepalanya dari mulut sampai belakang kepala. TKP terjadi di gubuk dengan meninggalkan 2 orang tewas dan 2 orang yang membantu luka-luka. Pada bagian ini Ade, Mahe dan Syalwa melihat tubuh sang pemilik babi, tetapi saya sendiri tidak melihat.

            Teman-teman dapat menyimpulkan sendiri penyebab yang mungkin dapat diambil dari segi pendidikan. Selain itu Bapak Bapinsa Yusuf juga menceritakan keadaan jalan yang sebelumnya sangat buruk dan hingga akhirnya turun dana pemerintah, dan jalan yang merupakan akses utama baru selesai kemarin pada tahun 2012. Tetapi jalan-jalan lain masih banyak yang buruk dan belum ada yang mendapatkan perhatian. Beliau juga bercerita tentang kendaraan yang dimilikinnya merupakan kendaraan sendiri dan bukan merupakan kendaraan dinas seperti yang seharusnya diberikan kepada Bapinsa.

            Hal menarik yang saya temui selama di jalan adalah rumah-rumah yang masih banyak dalam bentuk rumah adat yang terbuat dari lontar. Disana-sini ada rumah lontar, akan tetapi banyak juga rumah yang sudah dalam bentuk cor dengan atap sengnya.

            Selain hal di atas, juga terdapat hal menarik dari siswa-siswa yang mungkin baru pulang sekolah. “Semua” semua siswa yang saya lihat tidak ada yang mengenakan sepatu, beberapa sandal dan bahkan banyak yang tanpa menggunakan alas kaki. Bahkan ada beberapa yang tidak menggunakan tas dan hanya membawa satu buku.

            Dalam perjalanan kami berhenti sebentar di depan rumah adat dari seorang warga Oesele, sambil menunggu Ade dengan Bapa Yusuf yang saya sendiri dan teman-teman tidak tahu mengapa sampai begitu lama. Disitu kami disambut baik oleh pemilik rumah dan disediakan kursi oleh pemilik rumah. Disitu saya, Mahe dan Syalwa mengobrol dengan seorang Bapak yang kebetulan mendatangi kami. Beliau bercerita tentang keadaan dari rumah-rumah disini dan juga listrik yang ada di desa Oesele. Beliau bercerita tentang bantuan dari pemerintah berupa solar sel yang dapat menerangi pada malam hari. Tidak semuanya mendapat solar sel, pemerintah menyeleksi rumah-rumah yang dianggap kurang mampu yang kemudian menjadi tujuan utama pemberian solar sel. Sehingga walaupun rumahnya dari rotan, jangan salah semuanya memiliki solar sel J. Walau begitu, keadaan hidup mereka tetap saja memprihatinkan, dan menurut saya hal yang paling memprihatinkan adalah fasilitas MCK dan juga (maaf) pakaian yang mereka gunakan. Untuk MCK terutama WC tidak berasal dari bahan permanen tetapi tanah biasa, sedangkan untuk pakaian, banyak dari antara mereka yang menggunakan pakaian lusuh dan mungkin sudah tidak layak pakai lagi. Mungkin memang tidak semua masyarakat Oesele seperti itu, akan tetapi saya sendiri berpendapat mungkin mereka yang masih tinggal di rumah dari lontar rata-rata seperti itu.

            Kemudian Ade dan Bapa David datang bersama seorang laki-laki separuh baya yang ternyata merupakan Bapak Kepala Desa Oesele. Ternyata Ade mengambil inisiatif untuk bertemu Bapak Kepala Desa. Kemudian beliau mengajak kami masuk ke salah satu rumah, disitu beliau menjelaskan struktur rumah dan berbagai fungsinya.

Dari hal tersebut, saya mengetahu bahwa masyarakat Oesele banyak yang masih mempertahankan bentuk rumah adat mereka, walau banyak pula yang sudah beralih ke rumah permanen. Untuk rumah yang berasal dari rotan sendiri tidaklah permanen, karena rumah tersebut memiliki atap yang haru diganti setiap lima tahun sekali dan dindingnya jika sudah tidak kuat lagi menyangga rumah.

***
Kami melanjutkan perjalanan kami untuk menemui Pengajar Muda yang mengabdi di Oesele (maaf saya lupa namanya). Disana beliau bercerita banyak tentang tentang keadaan masyarakat dan juga pendidikan yang ada di daerah Oesele, dan ternyata keadaannya sangat memrihatinkan. Mengapa? Karena masih ada murid kelas 3 SD yang bahkan belum bisa baca tulis. Saya tidak tahu mengapa hal ini terjadi, tetapi itulah kenyataannya. Tidak lepas dari hal tersebut, ternyata fasilitas buku referensi yang ada sangat sedikit, bahkan tidak jarang buku referensi hanya dimiliki oleh guru yang mengajar disana. Hal ini menurut saya dapat dijadikan alasan mengapa masih banyak yang belum bisa baca tulis. Kebiasaan yang ditanamkan oleh orang tua untuk bekerja mungkin juga turut memberikan andil dalam berkurangnya waktu belajar anak-anak. Kebiasaan untuk bermain juga membuat minat belajar anak-anak turun, karena saat belajar banyak dari antara anak-anak yang bermain. Banyak adari anak-anak yang memiliki cita-cita rendah, sehingga Pengajar Muda terus menggunakan metode belajar yang dapat memancing anak-anak agar memiliki cita-cita yang tinggi untuk masa depannya.

Dari hal, menurut saya buku referensi merupakan sesuatu yang harus dibutuhkan untuk majunya pendidikan di Oesele. Selain itu para tenaga pengajar yang ditugaskan harus profesional dalam menyeleksi mereka yang berhak naik kelas dan mereka yang wajib tinggal kelas, sehingga dapat memberikan dorongan positif untuk belajar untuk siswa secara menyeluruh. Sehingga tingkat rata-rata siswa meningkat. Penanaman nilai-nilai karakter dibutuhkan, karena mereka memiliki usia yang masih dini. Usia dini tersebut merupakan kesempatan untuk menanamkan nilai karakter untuk masa depan mereka, mengingat masa dewasa berpegang dari apa yang mereka peroleh dari kecil. Sehingga karakter yang baik akan berdampak pada masa depan yang cerah juga.
***
Saya tulis apa adanya yang saya dapat, mengerti dan saya pahami dan tentunya yang saya ingat J, semoga dapat menjadi referensi bagi tim pengusul dan juga keseluruhan tim KKN UGM di Rote Ndao. Sehingga kita dapat memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Pulau Rote J.


“Cogito Ergo Sum”

Kamar Kost, 10 April 2014
00:16 am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar