OESELE
Kamis, 23 Januari 2014
Dari
Kantor Kecamatan Rote Barat Daya kami melanjutkan perjalanan kami ke Oesele.
Masih dengan formasi yang sebelumnya, yaitu Mahe berboncengan dengan Syalwa,
Ade dengan Bapa David dan saya sendiri dengan Bapa Yusuf Bapinsa Barat Daya.
Selama
perjalanan Bapa Yusuf bercerita tentang keadaan Rote Barat Daya, terutama suku
Ti’I dan Dengka yang sering berselisih paham. Bapak Yusuf bercerita bahwa
masyarakat dimana beliau mengabdi sebagai Bapinsa rata-rata memiliki tingkat
pendidikan yang rendah, terutama mereka yang saat ini sudah tua. Tingkat
pendidikan yang rendah menurut beliau adalah faktor utama yang membuat
rendahnya toleransi kebersamaan antar suku. Rendahnya pendidikan menjadikan
banyak individu mudah terpancing dalam hal emosi, bahkan untuk hal-hal yang
dianggap kecil dan sepele. Beliau juga bercerita tentang banyaknya kasus
pembunuhan yang terjadi di daerah dimana beliau mengabdi sebagai Bapinsa. Terakhir
kali pembunuhan yang beliau tangani adalah saling bunuh antara dua petani yang
terjadi digubuk sawah. Saling bunuh ini terjadi antara dua orang petani. Yang
saya tangkap ceritanya adalah seperti ini:
Ada
seorang petani yang memelihara dua ekor babi, dan kedua babi tersebut masik ke
ladang petani lain dan merusak tanaman yang ada di ladang tersebut. Petani yang
memiliki ladang kemudian marah dan membunuh kedua ekor babi tersebut. Petani
yang memiliki babi tersebut kemudian mendatangi sang petani yang membunuh babi
tersebut dengan tenang tanpa memperlihatkan tanda-tanda buruk. Setelah sampai
di gubuk dimana sang petani yang membunuh babi berada, pemilik babi kemudian
memarang kepala dari sang pemilik babi dan menyabet sekali lagi di bagian
punggung (kalau tidak salah). Sang petani yang diparang kemudian menghunus
parangnya dan menusuk perut dan pemilik babi. Kemudian datang Ipar dan saudara
(kalau tidak salah) dari petani yang membunuh kedua babi dan membantu petani
yang membunuh babi dan memarang pemilik babi hingga putus bagian kepalanya dari
mulut sampai belakang kepala. TKP terjadi di gubuk dengan meninggalkan 2 orang
tewas dan 2 orang yang membantu luka-luka. Pada bagian ini Ade, Mahe dan Syalwa
melihat tubuh sang pemilik babi, tetapi saya sendiri tidak melihat.
Teman-teman dapat menyimpulkan sendiri penyebab yang
mungkin dapat diambil dari segi pendidikan. Selain itu Bapak Bapinsa Yusuf juga
menceritakan keadaan jalan yang sebelumnya sangat buruk dan hingga akhirnya
turun dana pemerintah, dan jalan yang merupakan akses utama baru selesai
kemarin pada tahun 2012. Tetapi jalan-jalan lain masih banyak yang buruk dan
belum ada yang mendapatkan perhatian. Beliau juga bercerita tentang kendaraan
yang dimilikinnya merupakan kendaraan sendiri dan bukan merupakan kendaraan
dinas seperti yang seharusnya diberikan kepada Bapinsa.
Hal menarik yang saya temui selama di jalan adalah
rumah-rumah yang masih banyak dalam bentuk rumah adat yang terbuat dari lontar.
Disana-sini ada rumah lontar, akan tetapi banyak juga rumah yang sudah dalam
bentuk cor dengan atap sengnya.
Selain hal di atas, juga terdapat hal menarik dari
siswa-siswa yang mungkin baru pulang sekolah. “Semua” semua siswa yang saya
lihat tidak ada yang mengenakan sepatu, beberapa sandal dan bahkan banyak yang
tanpa menggunakan alas kaki. Bahkan ada beberapa yang tidak menggunakan tas dan
hanya membawa satu buku.
Dalam perjalanan kami berhenti sebentar di depan rumah adat
dari seorang warga Oesele, sambil menunggu Ade dengan Bapa Yusuf yang saya
sendiri dan teman-teman tidak tahu mengapa sampai begitu lama. Disitu kami
disambut baik oleh pemilik rumah dan disediakan kursi oleh pemilik rumah.
Disitu saya, Mahe dan Syalwa mengobrol dengan seorang Bapak yang kebetulan
mendatangi kami. Beliau bercerita tentang keadaan dari rumah-rumah disini dan
juga listrik yang ada di desa Oesele. Beliau bercerita tentang bantuan dari
pemerintah berupa solar sel yang dapat menerangi pada malam hari. Tidak
semuanya mendapat solar sel, pemerintah menyeleksi rumah-rumah yang dianggap
kurang mampu yang kemudian menjadi tujuan utama pemberian solar sel. Sehingga
walaupun rumahnya dari rotan, jangan salah semuanya memiliki solar sel J.
Walau begitu, keadaan hidup mereka tetap saja memprihatinkan, dan menurut saya
hal yang paling memprihatinkan adalah fasilitas MCK dan juga (maaf) pakaian
yang mereka gunakan. Untuk MCK terutama WC tidak berasal dari bahan permanen
tetapi tanah biasa, sedangkan untuk pakaian, banyak dari antara mereka yang
menggunakan pakaian lusuh dan mungkin sudah tidak layak pakai lagi. Mungkin
memang tidak semua masyarakat Oesele seperti itu, akan tetapi saya sendiri
berpendapat mungkin mereka yang masih tinggal di rumah dari lontar rata-rata
seperti itu.
Kemudian Ade dan Bapa David datang bersama seorang
laki-laki separuh baya yang ternyata merupakan Bapak Kepala Desa Oesele.
Ternyata Ade mengambil inisiatif untuk bertemu Bapak Kepala Desa. Kemudian
beliau mengajak kami masuk ke salah satu rumah, disitu beliau menjelaskan struktur
rumah dan berbagai fungsinya.
Dari
hal tersebut, saya mengetahu bahwa masyarakat Oesele banyak yang masih
mempertahankan bentuk rumah adat mereka, walau banyak pula yang sudah beralih
ke rumah permanen. Untuk rumah yang berasal dari rotan sendiri tidaklah
permanen, karena rumah tersebut memiliki atap yang haru diganti setiap lima
tahun sekali dan dindingnya jika sudah tidak kuat lagi menyangga rumah.
***
Kami
melanjutkan perjalanan kami untuk menemui Pengajar Muda yang mengabdi di Oesele
(maaf saya lupa namanya). Disana beliau bercerita banyak tentang tentang
keadaan masyarakat dan juga pendidikan yang ada di daerah Oesele, dan ternyata
keadaannya sangat memrihatinkan. Mengapa? Karena masih ada murid kelas 3 SD
yang bahkan belum bisa baca tulis. Saya tidak tahu mengapa hal ini terjadi,
tetapi itulah kenyataannya. Tidak lepas dari hal tersebut, ternyata fasilitas
buku referensi yang ada sangat sedikit, bahkan tidak jarang buku referensi
hanya dimiliki oleh guru yang mengajar disana. Hal ini menurut saya dapat
dijadikan alasan mengapa masih banyak yang belum bisa baca tulis. Kebiasaan
yang ditanamkan oleh orang tua untuk bekerja mungkin juga turut memberikan
andil dalam berkurangnya waktu belajar anak-anak. Kebiasaan untuk bermain juga
membuat minat belajar anak-anak turun, karena saat belajar banyak dari antara
anak-anak yang bermain. Banyak adari anak-anak yang memiliki cita-cita rendah,
sehingga Pengajar Muda terus menggunakan metode belajar yang dapat memancing
anak-anak agar memiliki cita-cita yang tinggi untuk masa depannya.
Dari
hal, menurut saya buku referensi merupakan sesuatu yang harus dibutuhkan untuk
majunya pendidikan di Oesele. Selain itu para tenaga pengajar yang ditugaskan
harus profesional dalam menyeleksi mereka yang berhak naik kelas dan mereka
yang wajib tinggal kelas, sehingga dapat memberikan dorongan positif untuk
belajar untuk siswa secara menyeluruh. Sehingga tingkat rata-rata siswa
meningkat. Penanaman nilai-nilai karakter dibutuhkan, karena mereka memiliki
usia yang masih dini. Usia dini tersebut merupakan kesempatan untuk menanamkan
nilai karakter untuk masa depan mereka, mengingat masa dewasa berpegang dari
apa yang mereka peroleh dari kecil. Sehingga karakter yang baik akan berdampak
pada masa depan yang cerah juga.
***
Saya
tulis apa adanya yang saya dapat, mengerti dan saya pahami dan tentunya yang
saya ingat J,
semoga dapat menjadi referensi bagi tim pengusul dan juga keseluruhan tim KKN
UGM di Rote Ndao. Sehingga kita dapat memberikan dampak yang positif bagi
masyarakat Pulau Rote J.
“Cogito
Ergo Sum”
Kamar Kost, 10 April 2014
00:16 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar